Dinasti Mataram adalah dinasti yang berasal dari kalangan petani. Daerah kekuasaannya juga di pedalaman. Karena itu wajar kalau wawasan ekonomi Mataram adalah wawasan ekonomi pertanian atau agraris. Masyarakat dalam kerajaan Mataram diatur atas wawasan agraris ini. Dari wawasan agraris ini lahirlah masyarakat feodal. Masyarakat disusun atas dasar penguasaan tanah yang terpusat pada raja. Untuk mendukung kekuasaannya raja membagikan tanah kepada para pembantunya dengan memberikan lungguh yang luasnya di ukur dalam hitungan karya atau cacah.
Dalam pandangan Sultan Agung pertanian adalah sumber ekonomi, akan tetapi sekaligus adalah sumber kejayaan. Karena itu penguasaan tanah yang luas dengan penaklukan atau penyatuan banyak daerah lain adalah mutlak. Jadi penguasaan tanah yang luas harus ia lakukan demi kepentingan politik di lain pihak.
Dengan tanah itu masyarakat dibangun, karena itu yang lahir dari sistim demikian itu adalah masyarakat agraris atau masyarakat pertanian, dan masyarakat feodal seperti disebut di atas. Dari masyarakat ini lahirlah para kesatria, yang lebih utama dibandingkan dengan para pedagang yang kurang dihargai.
Karena perdagangan adalah kegiatan para bupati pesisir, maka Sultan Agung tidak menyenangi mereka itu. Di satu pihak karena bupati pesisir adalah pedagang, di lain pihak dengan perdagangnya bupati pesisir menginginkan kebebasan yang Mataram tidak menghendaki.
Karena itu sangat mudah dipahami mengapa Mataram, khususnya pada zaman Sultan Agung, memerangi bupati-bupati pesisir. Kebebasan bupati pesisir dan pandangan mereka yang berkiblat ke perdagangan, yang juga pelayaran, merupakan ancaman bagi keagungbinataraan Sultan Agung. Karena itu para bupati pesisir harus ditundukan.
Penaklukan Surabaya, Tuban, Gresik dan Sedayu adalah rangka penerapan konsep keagungbinataraan itu.
Setelah berhasil menguasai Mataram sama sekali tidak menghentikan kegiatan perdagangan. Karena Mataram memiliki kekayaan sangat besar yang tidak dapat dihabiskan sendiri, yaitu beras. Dalam abad XVII Mataram merupakan penyedia (supplier) beras yang besar untuk VOC di Jakarta dan Portugis di Malaka maupun ke kerajaan-kerajaan di luar Jawa.
Dengan beras itu jugalah Mataram dapat mengimpor berbagai barang dari luar seperti kain katun, sutera, porselin, rotan, permata, dan sebagainya. Dengan beras jugalah Mataram membeli senjata (Kanon atau meriam).
Karena pentingnya beras bagi perdagangan dengan pihak luar, khususnya dengan VOC dan Portugis, maka Mataram menerapkan sistim perdagangan monopoli untuk beras. Beras adalah barang dagangan kerajaan, karena itu semua daerah penghasil beras harus menyetor beras ke Mataram lewat pelabuhan berasnya, di Jepara. Jadi semua ekspor beras lewar pelabuhan itu, dan dengan demikian maka ekspor beras menjadi terkontrol.
Sistim monopoli yang demikian itu memang hanya dapat berjalan selama Mataram diperintah oleh raja yang kuat, seperti Sultan Agung. Pada umumnya daerah-daerah menginginkan perdagangan beras.
Akan tetapi doktrin keagunbinataraan tentu tidak mengijinkan daerah yang dikuasai Mataram bertindak sendiri-sendiri.
Sumber: Dari berbagai sumber buku yang terpercaya.